Minggu, 25 Juli 2010


Indahnya Cinta Pertama
Author: Abu Aufa

Lunglai...
Tubuhnya terkulai lemah dengan sisa butiran keringat
yang masih tampak berkilauan di dahinya. Perjuangan
hidup mati yang menggadaikan jiwa baru saja usai.
Semburat pucat di wajah pun perlahan lenyap. Namun ia
tersenyum, lalu bibirnya melafadzkan hamdalah.

Tak lama, sosok mungil itu ada di dalam dekapan.
Dipeluknya dengan segenap kehangatan kasih sayang,
padahal dirinya sendiri masih tampak lelah. Terlihat
matanya berbinar-binar senang seraya tak
henti-hentinya menyapa buah hati tercinta. Tetes air
bening pun mengalir dari sudut mata, air mata bahagia.


Bagai melepas kerinduan yang teramat dalam, pipi yang
masih kemerah-merahan itu dicium dengan lembut dan
kepalanya dibelai dengan manja. Yang dirindukan pun
sedikit menggeliat. SubhanaLlah, betapa indahnya
ciptaan-Mu, ya Allah. Mata kecilnya memang belum bisa
melihat dengan sempurna, namun nalurinya berkata,
dirinya berada di tangan seseorang yang sangat
mencintainya.

Elusan lembut dan sapaan yang sering terdengar saat
masih di dalam rahim, kini dapat dirasakan. Aura cinta
pun memancar dari kedalaman hati seorang ibunda,
menyelimuti sang buah hati yang baru saja menyapa
dunia dengan lengkingan tangisannya.

Indah, bahkan teramat indah...
Cinta ibunda memang cinta yang paling indah. Cinta itu
selalu ada di sisi mereka, dan tiada pernah ragu untuk
dilimpahkannya. Mereka-lah yang tak pernah kenal lelah
menjaga dan membesarkan kita semua. Bahkan ketika kita
belum mengenal sepatah kata, ibunda jua yang
mengajarkan tentang makna kasih sayang dan cinta.

Adakah cinta yang dapat menyaingi cinta seorang
ibunda? Betapa dengan kasihnya, masa kehamilan
dilewati dengan keikhlasan dan kesabaran. Perasaan
mual, pusing, ditambah dengan membawa beban di
perutnya yang semakin hari semakin berat, hingga saat
antara hidup dan mati ketika melahirkan, tak akan
dapat tergantikan oleh cinta-cinta lain yang penuh
kepalsuan.

Ibunda pun bagaikan pelabuhan cinta bagi anak-anaknya.
Kerelaan mereka untuk sekedar disinggahi, lalu
ditimbun dengan segala resah dan gundah, bahkan
amarah, hanya dibalas dengan senyum kesabaran. Tak
heran, seorang ibunda sanggup memelihara sedemikian
banyak anak yang dilahirkannya, namun belum tentu satu
anakpun bersedia menjaga dirinya hingga beliau tutup
usia.

Aaah...
Rasanya kita semua pernah mengalami jatuh cinta. Dan
cinta pertama itu selalu terhatur pada seseorang yang
selalu berada di samping kita, tempat curahan suka dan
duka. Ketika lapar, dengan tangannya ia menyuapkan
makanan, diberikannya air susu dengan tulus saat kita
haus, hingga diajarkannya berakhlak mulia bagaikan
RasuluLlah SallaLlaahu Alayhi Wasallam, uswatun
hasanah.

Ibunda memang bukan hanya madrasah pertama bagi
anak-anaknya, tapi mereka-lah cinta pertama kita.

Dan apakah ada cinta yang paling indah daripada cinta
pertama?

WaLlahua'lam bi shawab.

*MERENGKUH CINTA DALAM BUAIAN PENA*
Al-Hubb FiLlah wa LiLlah,

Abu Aufa

Rabu, 07 Juli 2010

BAMBU DI MUSIM DINGIN


BAMBU DI MUSIM DINGIN

Hangat mentari di bulan Juli begitu kontras dengan sejuknya ruangan kelas ini yang membuat kami malas keluar. Waktu istirahat-pun dihabiskan dengan belajar dan mengerjakan PR. Tapi ada juga yang main tennis meja dan berisiknya minta ampun. Yah sekolah paforit sebenarnya sama juga dengan yang lain. Tentu ada bermacam-macam karakter. Dari yang kutu buku sampai yang jahilnya minta ampun. Dan disini tidak semua makhluk jenius. Kalau dipikir-pikir, bagaimana mereka bisa duduk di bangku mahal ini? Contohnya aku. Aku harus belajar siang malam untuk diterima disini. Memang, aku bukan orang yang jenius. Tapi aku cukup pintar untuk mengoperasikan memoriku. Aku sekarang sedang menikmati peranku sebagai gadis lurus. Setiap hari aku hanya mengerjakan kewajibanku. Bangun tidur, kesekolah, pulang sekolah, membantu ortu, belajar, nonton tv, dan akhirnya tidur lagi. Sekarang aku sudah SMA yang katanya adalah masa yang paling indah. Omong kosong! Itu tak akan terjadi padaku. Bulan Juli awal masuk SMA. Masa Orientasi Siswa. Setahun yang lalu aku merasakannya. Baris berbaris di tengah lapangan, pura-pura sakit, skot-jump, push-up, pingsan, bentak-bentakan, kostum lucu, Tuhan, setahun yang lalu aku di sana. Dan sekarang, aku hany duduk di dekat jendela dan mengamati mereka di tengah-tengah keributan kelas. Ha…ha…ha…ha… apa yang kulakukan? Benar, aku tidak cukup popular untuk jadi panitia MOS. Sejujurnya aku tidak suka siswa popular. Ya, aku memang iri pada mereka. Mereka punya sesuatu yang aku tidak punya. Dan gadis biasa seperti ini, mana bisa merasakan masa terindah di SMA?
“Hey, lihat! Ada anak MOS aneh disana!” teriak salah satu teman sekelasku di sisi jendela seberang. Teman-teman menghentikan kegiatannya dan bergegas ke sumber suara.
“Itu kan si Ice Face?! Ngapain dia pake kostum it? Bukankah dia siswa kelas 2? Apa mungkin dia tidak naik kelas, ya?” ujar salah satunya.
“Loh, kamu nggak tahu, ya? Setahun yang lalu kan dia nggak ikut MOS. Jadi dia ikut tahun ini.” jelas si radio berjalan.
“Pantes, dia berani melarikan diri. Kalo anak baru, mana mungkin berani?!”
Mendengar percakapan mereka, aku tak tahan untuk ikut nimbrung. Dan kulihat cowok tegap berkostum MOS sedang tidur bersandar di mushola belakang kelas. Cowok itu didatangi 2 panitia MOS. Terlihat dari pita biru di lengannya dan kalung identitas di lehernya.
“Hei! Bangun!” bentak salah satu panitia berkepala botak seraya melemparkan batu ke kepala cowok yang sedang tidur itu. Batu terpental ke lantai. Tersentak, cowok itu bangun dan mendapati batu di lantai mushola dan ditatapnya kedua cowok di depannya.
“Jangan mengotori mushola!” kata cowok itu dengan tatapan lurus ke wajah kedua cowok yang berdiri 3 meter di depannya. Kelas kami begitu dekat dengan mushola sehingga terdengar jelas. Kulihar 2 panitia itu tertegun.
“Bukankah peserta seharusnya di lapangan sekarang?”
“Bukankah ini waktunya istirahat?” tanya Ice Face balik dan mengacungkan jadwal kegiatan.
“Tadi sudah kami bilang. Ada evaluasi mendadak! Nggak dengar?” bentak panitia berhidung besar gemetar. Si Ice Face malah tersenyum.
“Omong kosong.”
Mendengar ucapannya, panitia berhidung besar itu naik darah dan hendak menerjang Ice Face tapi ditahan oleh temannya yang botak. “Tenanglah, belum saatnya,” bujuknya.
Teman-temanku tertegun deg-degan. Tiba-tiba ada rombongan peserta yang lewat. Rupanya evaluasinya sudah usai. Salah satu berceloteh, “Istirahat 10 menit? Gila! Mana cukup? Keringt aja belum kering. Kejam! Padahal aku tadi belum makan. Buru-buru, sich!?” salah satu temannya menyodok tulang rusuknya seraya memberi isyarat, “Stttt”. Dan mereka dengan kompak diam menunduk.
“Kalian dengar? Kalau kalian punya hati, berfikirlah!” ujar Ice Face menyeringai. Dan kedua panitia itu merah padam celingukan.

*****
Hari yang nggak penting! Awal ajaran baru memang nggak penting menurutku. Pelajaran belum siap, isinya hanya perkenalan. Bener sih, aku nggak seluruhnya tahu nama masing-masing penghuni kelas baru. Dan aku paling benci memperkenalkan diri. Tapi, kalau nggak ada pelajaran, aku senang juga. Soalnya liburan tiga minggu rasanya kurang buatku. Tapi hari ini aku mendapat kejutan. Cowok cool yang berjulukan “Ice Face”. Menarik sekali.
*****
Hari Jumat. Aku paling suka hari ini. Pertama karena pulang pagi. Kedua karena siswa boleh pakai baju bebas dengan bawahan osis. Trus yang paling aku suka adalah ada pelajaran seni rupa yng paling aku sukai. Ya, aku mau mengorbankan hari apa saja asal bukan hari Jumat. Dan hari ini aku merasa akan mendapatkan kebahagiaan. Soalnya kelopak mata kiri atasku kedutan. Jadi itu pertanda baik.
Seperti biasa, setiba di kelas, aku langsung celingukan nyari Hani. Teman kentalku yang dengan senang hati mencarikan tempat duduk untukku. Dan tentu saja tempat dudukku pasti di sebelahnya. Kadang aku berfikir, dia begitu baik mengaplingkan tempat untukku karena aku teman baiknya dan tidak mau terpisah atau hanya merasa nggak enak padaku? Ah, picikkah pikiranku?
“Kamu tu ya? Nggak pernah bias datang pagi. Datang siang dikit aja, kita bakal dapat VIP, tahu?” cerocosnya.
“Hmm,” senyumku, “makanya, yang rajin, ya, datangnya?”
“Ah…”
Ada yang salah dengan ekspresi Hani. Kulihat ekspresinya terkejut melihat lubang pintu. Ternyata di lubang pintu ada seseorang yang asing. Sosok itu kira-kira 30 cm lebih tinggi dariku, rambutnya lurus agak panjang dan hamper menutupi matanya, badan tegap dengan tas punggung tergantung di pundak kanannya, dan telapak langan kirinya tersembunyi di saku celana. Wa……., cool abies….
Lama cowok itu berdiam disana dengan mata menjelajahi isi kelas. Dan bel masuk berdering sudah. Siswa yang masih di luar kelas berhamburan masuk kelas dan mendorong-dorong cowok itu dari segala penjuru. Dan akhirnya, pak Yudi muncul di lubang yang sama dan berkata, “duduk, Angga?!”. Tanpa ekspresi, cowok itu, Angga, menyebrangi kelas dan memilih bangku arah jam dua dari bangkuku. Angga, kenapa dia menarik bagiku, ya?
“Selamat pagi anak-anak? Selamat datang di kelas baru!” sapa pak Yudi, “Tahun ini saya memfokuskan kalian untuk menyajikan mahakarya senirupa lukisan. Sambil jalan, saya akan mengajari bagaimana melukis di atas kanvas dengan baik. Dan setiap minggunya, kalian akan dinilai. Sejauh mana kalian berbuat dengan kanvas kalian.”
“Hu……….” sorak teman-teman tak suka.
“Wait! Don’t worry class! Yang dinilai adalah deltanya. Dari awal hingga akhir. Untuk memastikan lukisan ini adalah jerih payah kalian! Pertama-tama cari inspirasi. Hari ini, bapak akan membimbing kalian untuk cari inspirasi. Cari sesuatu yang paling menarik dan paling indah untuk kalian lukis. Okey, start now! Kita bagi kanvasnya!
“Kalian sudah dapat kanvas dan cat minyaknya. Dan nasip raport kalian ada di atas kanfas itu. Jadi berusahalah sekeras-kerasnya agar hasilnya bagus. Nah, mulai buat sketsanya di atas kanvas! Tapi kalau inspirasinya belum muncul, coba buat sketsa-sketsa yang menarik dan pilih salah satunya. Atau cari majalah dan adopsi foto di sana. Itu akan sangat membantu daripada melamun memandangi kanvas kalian,” jelas pak Yudi.
Tapi hatiku berkata lain. Aku terus saja memandangi kanvas putihku. Aku ingin tahu apa yang harus kutuangkan di sini. Kulirik si Angga di arah jam dua. Dia juga berbuat sama. Bola matanya bergerak menelusuri kanvas terlihat seperti mengikuti alur seolah-olah ada suatu proses diatasnya. Kanvas itu melukis sendiri. Lalu pak Yudi tiba di bangkunya dan menyapa,”ada yang ingin kau lukis?” Dan Angga menjawab,”Ya. Dan bolehkah saya keluar sekarang?” Dan pak Yudi-pun memberi isyarat, “Tentu.”
Tak banyak dari teman-teman yang keluar kelas. Sebagian dari mereka tegang berfikir lukisan macam apa yang akan mereka buat. Ternyata seni rupa tak semudah yang kami pikirkan. Tugas ini seperti teka-teki yang sulit dipecahkan. Penuh ketidak pastian. Penuh prasangka. Bagaimana kalau hasilnya jelek? Bagaimana kalau…. Hhh… Mending mengerjakan soal matematika. Setidaknya ada pakar matematika diantara kami. Hhhh…kuhembuskan nafas mengusir kesialan. Seketika kuingat kata-kata, “Kalau sudah menemukan obyek paling menarik dan paling indah buatmu, mantapkan pilihanmu dan buat sketsanya di atas kanvas.” Yang paling menarik….yang paling indah…..
*****
Akhirnya kanvasku masih kosong. Sebenarnya apa yang kutunggu? Apa saja boleh kulukis. Aku melukis pemandangan-pun tak apa. pasti bisa. Tapi mengapa aku ragu? Ini bukan keraguan apakah bisa atau tidak, melainkan cukup berharga atau tidak. Ketika terbesit ingin melukis sesuatu, sepertinya kanvas ini menolak. Apa, sih, yang ingin kau tunjukkan pada kami?
Sekali lagi aku berfikir. Apa yang akan kulukis, ya? Huh, tak kusangka. Pelajaran seni rupa juga bisa bikin stress. Yang paling menarik? Bukankah aku akan ikut nimbrung saat ada orang-orang berkumpul? Tertarik ingin tahu apa yang terjadi. Lalu pohon yang bergoyang dan awan dibawah langit biru. Bukankah aku selalu ingin melihatnya? Apa yang kucari sekarang?
Jreeeng……! Sosok cool di lubang pintu muncul tiba-tiba di anganku. Saat ini yang paling menarik adalah dia. Andaikan orang itu tidak memakai apa-apa dengan pose seperti itu…. Kyaaa….. dan mata itu…… Tuhan, apa yang aku pikirkan?
Lalu, yang paling indah…. Mata itu! Mata yang sangat indah. Memberi efek yang luar biasa. Saat itu, aku terlambat. Belum ngerjain PR pula. Makanya, aku sibuk dengan PRku. Mana PRnya di jam pertama, lagi. “srek…..srek….” kudengar suara sapu di depanku. Kuangkat wajahku dan hatiku-pun berteriak,”Astaga! Piket!” Kulihat cowok yang sedang nyapu di depanku itu. “Angga!” batinku. Tak sadar tatapan mata kami bertemu. Dan matanya seolah berkata, “Bukankah kamu piket hari ini?” Hei…., tatapannya begitu memaksa. Tubuhku refleks berlari ke arahnya dan merebut sapu itu dan secepat kilat kusapu sisanya. Tuhan, aku ingin menatapnya lebih lama lagi agar aku tahu isi hatinya lebih dalam.
Keterlaluan! Bodoh sekali bila aku terang-terangan melukisnya.
*****
Di bawah pohon flamboyant, seorang cowok bersandar dengan kanvas di pangkuannya. Tangan yang belepotan cat orange dan hijau itu memegang kuas bak pelukis professional. Matanya yang hampir terpejam, mengintip di sela-sela rambut yang menari dibuai angin. Bibirnya sedikit melengkung membiaskan ketulusan. Tuhan, aku ingin melihatnya seperti itu lebih lama.
Kuberanikan diri mendekatinya. Iri pada flamboyan yang menaunginya. Dan akhirnya, duduk manis di bawah bayangan pohon bugenvil dengan kanvas dipangkuan dan pensil di tangan. Ingin kulukis pohon itu. Lama kupandangi pohon itu. Tapi berat sekali untk menggoreskan pensil di atas kanvasku. Seolah dia menolak. Sesekali mataku terfokus pada cowok itu. Begitu menarikkah dia? Hatiku bertanya, “Apa kata yang cocok untuk dirinya? Pendiam dan dingin. Seolah-olah ingin mencapai sesuatu yang jauh. Tegas dan tegar tetapi kadang terkesan lembut. Ah, apa yang aku pikirkan?”
“Teng…teng…teng…” istirahat telah habis. Hmm…., akhirnya tak ada satu goresan-pun di kanvas ini. Apa yang tadi aku lakukan? Kurasa aku amnesia jangka pendek. Cowok itu berdiri dan menepuk celananya lalu dengan tenang meninggalkan tempatnya. Dan tiba-tiba dia berhenti dan berpaling padaku. Sontak wajahku panas. “Hya…ketahuan…!” Lalu dia memutuskan untuk hengkang. Hmph…terbersit pikiran. Bagaimana kalau dia nyanyi lagu ”ketahuan”nya Mata band, ya? Hihihi…lucu sekali.
Setiba di kelas, aku yang seolah terhipnotis terus mencuri memandangnya.
“Nu, jangan bilang kalau kau naksir padanya. Dia itu seperti gunung es.”
“Hhh…, dia itu lebih mirip bambu di musim dingin. Tegar, kuat, dan misterius. Namun kadang lembut dan terus tumbuh tinggi menuju langit tak berujung. Membuatku tak bisa mengejarnya. Saat di bawah pohon flamboyan, dia terlihat sangat tegar hingga bila salah memperlakukannya, dia akan retak dan berbahaya. Tapi ada sorot lembut di matanya yang kesepian dan mendamba sesuatu”
“Terserah, deh!” reaksinya.
*****
Hari ini kumantapkan obyek lukisanku. Kembali ke lapangan belakang berharap dia ada. Tapi ternyata tak ada. Flamboyan kini sendirian. Di bawah bayang-bayang pohon bugenvil, ku putuskan untuk membuat sketsa dengan cat warna biru muda. Tanpa melihat kanvas, kulukis pohon itu. Setengah melamun. Otakku berbisik, “bambu di musim dingin….” Dan benar! Kulihat kanvasku. Dan kudapati garis-garis biru aneh. Bukan pohon tapi lebih terlihat seperti batang-batang yang berjajar. “Bambu di Musim Dingin”. Apa itu yang ingin kamu lukis? “Dasar kanvas aneh!” pikirku.
Tiba-tiba ada suara muncul di belakangku. “Apa yang kau lukis? Sketsa yang aneh,” sapanya. Sontak kupalingkan wajahku dan mencari sumber suara.
“Hya……” kagetnya aku ketika kudapati mata itu. “Angga?!” teriakku. Sontak anggota gerakku sedingin es. Ini begitu tiba-tiba.
“Maaf!? Aku tak tahu kalau bakal sekaget itu.”
“Emm…..” reaksiku terus menatapnya dengan ketakutan.
“Apa ada yang salah dengan wajahku? Mengapa kau seperti itu?”
“Tidak, tak ada apa-apa… permisi!”
Langsung aku kabur meninggalkannya kebingungan. Mungkin dia bertanya-tanya, “Apa, sih, yang dipikirkannya?”
*****
“Nah, selesai juga, deh, bambu di musim dinginku. Lihat! Bagus, kan, Han?” Celotehku membanggakan karya 3 hariku.
“Hei, hei! Ini karya paling ajaib yang pernah kulihat. Bambunya lebih terlihat biru. Begitu pula dengan bayangan saljunya. Dari mana kau mendapatkannya?” komentar cewek berambut ikal itu.
“Rahasia!”
“Gak usah main rahasia-rahasiaan! Melihat lukisan ini, aku teringat sesuatu. Bambu di musim dingin itu si Ice Face, kan?”
“Ha? Masa?”
“Amnesia jangka pendek, tentunya. Kau sudah bilang, kok!”
“Mungkin. Bambu di musim dinginku terluhat biru. Sangat biru. Menggigil di bawah cengkraman salju yang tak pernah mencair mesti terpapar sinar mentari. Dn dia berusaha hidup dan tumbuh menuju langit. Seolah tak membutuhkan siapapun dalam perjuangan itu. Sehingga aku ingin menjadi burung parkit yang menyingkirkan salju itu dan menjadikannya sehangat mentari.”
“Ih…., so sweet…!”
*****
Pameran lukisan dimana bamboo di musim dinginku dipajang, memberiku harapan untuk mencapai kebanggaan. Salah satu dari 40 karya di kelasku adalah milik orang yang bersembunyi di belakan bambu musim dinginku. Kuperhatikan satu-satu hingga kutemukan satu lukisan yang terindah. Aku merasa berada di tengah rerumputan bawah bayang-bayang sebuah pohon dan aku melihat arah angin melalui tajuk bunga orange yang berterbangan membentuk formasi sejajar. Saat kututup mata, angin itu terasa sejuk dan wangi membelaiku. Terlihat titik embun di ujung daun rerumputan. Begitu jernih dan biru.
“Inikah gambaran surga?” pikirku.
“Hijau dan orange. Kombinasi yang bagus, ya?” ujar pak Yudi mengagetkanku.
“Benar-benar hidup.” balasku.
“Dia sudah mahir sekarang salah satu anak emas sanggar. Dulu dia parah sekali. Ingin melukis sesuatu tapi sama sekali tak bias. Terus saja melukis sampai tenaganya habis. Tiap lukisan, memiliki obyek yang sama tapi dengan sudut pandang yang berbeda. Setiap selesai melukis, langsung dicampakkan. Seperti sampah. Tak pernah puas dan tak pernah melihat lukisan yang terdahulu. Seperti mesin pembuat lukisan. Lihat saja. Gradasi warna hijau untuk detil rangkaian daun rerumputan.ditambah efek putih kebiruan yang terkesan jernih untuk embun di pucuk daun dan penyinaran yang sempurna terlihat dengan bayang-bayang pohon flamboyan. Tajuk bunga flamboyan menambah hidup lukisan itu. Dia melukis peristiwa. Bukan obyek.”
“Apa dia selalu melukis flamboyan? Apakah dia itu Angga?”
“Kamu tahu?”
“Permisi, pak?”
Langsung aku menelusuri pojok itu. Mencari-cari sosok jangkung flamboyan. Dan akhirnya kutemukan dia di depan “Bambu di Musim Dingin”ku.
“Judulnya ‘Bambu di Musim Dingin’. Cukup berhargakah untuk kau lihat?” sapaku.
“Lukisan ini terkesan sok tahu,” komentarnya mengagetkan.
“Sok tahu?” gumamku geregetan, “Terima kasih!”
“Seolah menceritakan sesuatu yang secara sengaja disembunyikan dengan maksud tertentu,” ujarnya tanpa memandangku.
“Aku sedang memikirkan seseorang. Sampai-sampai dipelupuk mataku hanya ada dia. Ingin mengabadikannya tapi tak ada keberanian. Memang aku tak mengenalnya. Benar katamu. Aku memang sok tahu.aku iri pada langit yang menyelimutinya dengan salju. Aku ingin menjadi parkit yang bias bertengger di dahannya dan menyingkirkan salju itu meski tak dihiraukan karena dia terobsesi pada langit. Tapi aku sadar, anak ayam tak akan berubah menjadi parkit. Dan anak ayam itu adalah aku.”
“Menarik sekali. Kau tahu, bila Tuhan menghendaki, tak menutup kemungkinan, si bambu akan sadar akan keberadaan ayam. Percayalah, bila itu terjadi, si bambu akan merunduk dan menyapa si ayam meski bambu itu menggigil hebat. Dan akhirnya si ayam akan membebaskan bambu dari selimut salju dan bayangan itu tidak lagi terlihat biru melainkan hijau yang dalam.” paparnya menatap lurus ke mataku. Dan saat itu, kulihat danau hitam yang memantulkan cahaya rembulan. Itulah kekuatan dan kepercayaanku. Dia akan merunduk padaku dan berkata, “Hei, apa ada sesuatu di mukaku?”

Selesai